Kekhawatiran bahwa hubungan AS dengan China di bidang perdagangan mulai merenggang menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Pada pekan kemarin tepatnya di hari Kamis (19/9/2019) dan Jumat (20/9/2019), delegasi setingkat wakil menteri dari pihak AS dan China menggelar perundingan di Washington guna merumuskan dasar untuk negosiasi tingkat tinggi yang rencananya akan digelar pada bulan depan.
Dalam negosiasi setingkat wakil menteri yang berlangsung selama dua hari tersebut, delegasi China dipimpin oleh Liao Min selaku Deputi Direktur dari Office of the Central Commission for Financial and Economic Affairs dan juga Wakil Menteri Keuangan China. Sementara itu, AS mengutus Jeffrey Gerrish selaku Deputi Kantor Perwakilan Dagang AS.
Rencananya pasca menggelar negosiasi dagang, delegasi China akan mengunjungi ladang pertanian di Montana dan Nebraska. Namun, rencana kunjungan tersebut dibatalkan dan delegasi China kembali ke negaranya lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Sebelumnya pada hari Kamis, Menteri Perdagangan AS Sonny Perdue mengatakan bahwa kunjungan delegasi China ke ladang pertanian di AS dimaksudkan agar pihak China bisa membangun hubungan yang baik dengan para petani di AS.
Kini, pelaku pasar mulai mempertanyakan potensi dicapainya kesepakatan dagang dalam waktu dekat. Pada hari Rabu (18/9/2019), Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa AS dan China dapat meneken kesepakatan dagang dalam waktu dekat. Pernyataan dari Trump tersebut lantas melengkapi pernyataan serupa sehari sebelumnya kala dirinya mengungkapkan optimisme bahwa AS dan China akan segera bisa meneken kesepakatan dagang.
Trump mengatakan di hadapan reporter bahwa China telah membeli produk-produk pertanian asal AS dalam jumlah yang besar, sebelum kemudian mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China bisa diteken sebelum gelaran pemilihan presiden (Pilpres) di AS pada tahun 2020 atau sehari setelahnya.
Dikhawatirkan, absennya kesepakatan dagang dalam waktu dekat akan membawa perekonomian AS dan China mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2NtjBts
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment