Saturday, September 28, 2019

Ini Saran Kadin Agar RI Tekan Impor Minyak: Fokus Metanol!

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan menilai Indonesia perlu memperhatikan struktur industri yang berbasis di hulu, salah satunya industri petrokimia berbasis metanol.

Metanol merupakan senyawa intermediate yang menjadi bahan baku berbagai industri, antara lain, industri asam asetat, formaldehid, Methyl Tertier Buthyl Eter (MTBE), polyvinyl, polyester, rubber, resin sintetis, farmasi, Dimethyl Ether (DME), dan lain sebagainya.

Menurut Johnny, di saat kebutuhan metanol semakin meningkat, Indonesia baru memiliki satu produsen yang kapasitas produksinya 660.000 ton per tahun. Karena itu, untuk mencukupi kebutuhan, Indonesia harus mengimpor.


Johnny menyebut nilai impor metanol mencapai US$ 12 miliar atau setara Rp 169 triliun (asumsi kurs Rp 14.100/US$) per tahun.

"Dari sisi kepentingan ekonomi nasional pun pengembangan industri kimia berbasis metanol sangat urgen dan strategis," kata Johnnya dalam sebuah seminar di UGM, Yogyakarta, dalam pernyataan tertulis dikutip CNBC Indonesia, Jumat (27/9/2019).

Pengembangan industri metanol menjadi penting lantaran beberapa produk turunannya, seperti biodiesel dan dimetil eter (DME) merupakan bahan bakar alternatif.

Dengan demikian, Johnny memandang impor minyak yang selama ini membebani neraca dagang RI bisa dikurangi melalui pengembangan industri metanol. Keberadaan industri metanol juga dapat menopang program pemerintah untuk pengalihan bahan bakar berbasis BBM ke biodiesel.


"Dengan berjalannya program B20 ke B30 ke B100 maka diperkirakan pada tahun 2020 kebutuhan metanol akan meningkat menjadi 1,5 juta ton. Kondisi ini membutuhkan antisipasi dini melalui pengembangan industri metanol nasional," tambah Johnny.

Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK PII) Ricky Hikmawan menambahkan, gas merupakan unsur penting dalam pengembangan metanol. Karena itu, kontrak jangka panjang, minimal 20 tahun, merupakan hal yang perlu difasilitasi pemerintah.

Selain itu, harga gas yang kompetitif, di kisaran US$ 3 per million metric british thermal unit (MMBTU), akan membuat produk yang dihasilkan lebih kompetitif di pasar domestik maupun global.

Di tempat yang sama, Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK PII) Ricky Hikmawan mengatakan, Bontang, Kalimantan Timur, merupakan lokasi strategis sebagai kawasan industri khusus industri kimia berbasis metanol.

Ketua Umum Keluarga Alumni Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (Katgama) Agus Priyatno menjelaskan beberapa alasan kenapa Bontang merupakan pilihan yang paling strategis.

Pertama, Kalimantan Timur tersebut telah memiliki ketersediaan infrastruktur pendukung proyek, seperti lahan, utilitas, dan dermaga.

"Kondisi ini bisa memangkas biaya proyek hingga 15 persen," katanya.

Selain itu, pabrik metanol bisa disinergikan dengan pabrik amoniak yang telah ada milik PKT Bontang. Hal ini juga sejalan dengan rencana pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan Timur.

"Kebutuhan produk dari turunan metanol sangat banyak dalam memenuhi kebutuhan pembangunan Ibu Kota ke depan. Misalnya, saat ini 80% pembeli metanol adalah industri formaldehid yang menghasilkan adhesives untuk plywood dan industri wood processing lainnya yang merupakan produk interior bagi perkantoran baru," tambahnya.

(tas)

from CNBC Indonesia https://ift.tt/2o6HWKh
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment