Pada pukul 19:28 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1076, menguat 0,06% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sementara dalam tiga hari sebelumnya, total euro menguat 0,58%.
Penguatan mata uang 19 negara ini dimulai saat Jerman berhasil terhindar dari resesi. Badan Statistik Jerman (Destatis) Kamis pekan lalu melaporkan produk domestik bruto (PDB) tumbuh 0,1% quarter-on-quarter (QoQ) di kuartal III-2019. Pada kuartal II-2019, PDB Jerman mengalami kontraksi 0,1%, sehingga terhindar dari resesi di periode Juli-September.
Sebelum rilis data PDB Jerman tersebut, mata uang euro terus mengalami tekanan hingga menyentuh level terlemah satu bulan.
Dengan terhindarnya Jerman dari resesi, muncul optimisme akan bangkitnya perekonomian Benua Biru. Optimismemembaiknya perekonomian Eropa terlihat dari kucuran modal yang masuk ke bursa saham Eropa dalam dua pekan terakhir.
Berdasarkan data EPFR, dalam dua pekan terakhir investor menyuntikkan modalnya (inflow) ke pasar saham Eropa senilai US$ 3 miliar, sekaligus menggentikan outflow dalam 85 pekan sebelumnya, sebagaimana dilansir CNBC International.
Salah satu penyebab optimisme tersebut adalah European Central Bank (ECB) yang mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga atau yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE).
Program tersebut sebenarnya sudah dihentikan pada akhir 2018 lalu ketika perekonomian zona euro mulai membaik. Namun perang dagang AS-China membuat kondisi ekonomi blok 19 negara itu kembali putar balik, yang memaksa ECB kembali mengaktifkan QE serta memangkas suku bunga pada 12 September lalu.
Pemangkasan suku bunga serta QE memang cenderung melemahkan nilai tukar mata uang. Tetapi sebelum ECB melakukan hal tersebut pelaku pasar sudah berspekulasi sejak pertengahan tahun yang membuat kurs euro anjlok ke level terlemah lebih dari dua tahun atau tepatnya sejak Mei 2017 di akhir September lalu.
Kurs euro tentu kelihatan murah setelah mengalami penurunan tersebut, apalagi dolar AS masih belum sepenuhnya mendapat kekuatannya kembali. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memang menyatakan tidak akan lagi memangkas suku bunga kecuali jika kondisi ekonomi AS memburuk.
Memburuknya ekonomi AS masih bisa terjadi mengingat hingga saat ini belum tercapai kesepakatan dagang yang kongkrit dengan China.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2NZkw4a
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment