Dahlan menuliskan, sejumlah upaya yang dilakukan KRAS di bawah kepemimpinan Silmy Karim patut diapresiasi, namun tantangan ke depan masih tidak mudah di tengah tantangan derasnya serbuan baja impor dari China.
Dalam ulasannya di situs pribadi disway.id itu bertajuk "Harapan Baja?", Dahlan menyoroti kondisi Krakatau Steel.
Salah satu hal yang mendesak kata Dahlan adalah infrastruktur energi bagi industri baja harus dibenahi agar tidak tergantung terus menerus pada gas alam. Menurutnya, naiknya harga gas bumi telah membuat KS tidak kompetitif.
Apalagi, di Indonesia, kata dia, harga gas dibuat sama untuk siapa saja. Tidak ada kebijakan yang mengistimewakan industri strategis atau industri dalam negeri.
"Memang Krakatau Steel punya pembangkit listrik sendiri. Tapi bahan bakarnya juga gas. Padahal sejak 15 tahun lalu sudah banyak industri lain memindahkan bahan bakar ke batu bara," tambahnya.
Di sisi lain, menurut Dahlan, KRAS masih merugi meski beberapa pabrik baru sudah didirikan hasil joint venture dengan beberapa investor strategis, hal ini masih belum cukup kuat menopang restrukturisasi KS.
"Di KS juga masih ada dua pabrik baru lagi. Hasil joint venture dengan dua perusahaan Jepang. Di masing-masing perusahaan Krakatau Steel memegang saham 20 persen. Dua perusahaan baru ini sebenarnya sudah berlaba. Cepat sekali. Tapi labanya masih kecil. Belum banyak bisa mengurangi kerugian KS yang besar," tulis Dahlan, dalam ulasannya, Jumat, 22 November 2019.
Dahlan menilai, dua perusahaan patungan dengan Jepang ini setidaknya tidak menambah besar kerugian KS.
"Kerja sama dengan Jepang ini pun membawa harapan baru: pasarnya terjamin. Produk bajanya 100 persen untuk memasok pabrik mobil Jepang yang ada di Indonesia," kata mantan Direktur Utama PLN (Persero) itu.
Selain itu, KS punya saham 30 persen di pabrik baja yang baru. Yang sangat besar: PT Krakatau Posco.
"Itu merupakan perusahaan patungan antara KS dan pabrik baja Korea Selatan, Posco. Posco memegang 70 persen saham dan karena itu manajemen Krakatau Posco dipegang oleh Korea," ungkapnya.
Berikut ulasan lengkap Dahlan Iskan:
Masihkah ada harapan untuk Krakatau Steel?
Tidak mudah.
Tapi masih ada anak usaha KS yang labanya besar: pelabuhannya masih bisa laba Rp 200 miliar setahun.
Pelabuhan itu memang istimewa. Yang terdalam di Indonesia. Kapal 200.000 ton bisa sandar. Lokasinya menghadap, Gunung Krakatau di Selat Sunda.
Dengan demikian bahan baku bisa masuk Cilegon dalam jumlah besar. Yang ongkosnya bisa menjadi lebih murah.
Masih ada lagi.
Usaha penjernihan airnya juga masih bisa laba Rp 100 miliar. Semua industri besar di Cilegon membeli air dari KS. Pun Pemkot Cilegon.
Pelabuhan itu, dan air bersih itu, bukan usaha pokok. Laba besar tersebut tertelan begitu saja oleh kerugian besar yang di usaha pokoknya.
Di usaha pokok, KS punya saham 30 persen di pabrik baja yang baru. Yang sangat besar: PT Krakatau Posco.
Itu merupakan perusahaan patungan antara KS dan pabrik baja Korea Selatan, Posco. Posco memegang 70 persen saham dan karena itu manajemen Krakatau Posco dipegang oleh Korea.
Karena masih baru PT Krakatau Posco masih rugi. Sangat besar. Bahkan sampai harus melakukan restrukturisasi utang.
Kerugian di Krakatau Posco itu pun 30 persennya menjadi kerugian Krakatau Steel. Itulah sebabnya KS yang rugi mendapat tambahan rugi.
Di KS juga masih ada dua pabrik baru lagi. Hasil joint venture dengan dua perusahaan Jepang.
Di masing-masing perusahaan Krakatau Steel memegang saham 20 persen.
Dua perusahaan baru ini sebenarnya sudah berlaba. Cepat sekali. Tapi labanya masih kecil. Belum banyak bisa mengurangi kerugian KS yang besar.
Dua perusahaan patungan dengan Jepang ini setidaknya tidak menambah besar kerugian KS.
Kerjasama dengan Jepang ini pun membawa harapan baru: pasarnya terjamin. Produk bajanya 100 persen untuk memasok pabrik mobil Jepang yang ada di Indonesia.
Merintis patungan dengan Jepang ini awalnya tidak mudah. Keputusan menggandeng Jepang ini ditentang oleh banyak petinggi zaman itu. Dianggap bisa mengganggu pemodal Korea di Krakatau Posco.
Korban pun jatuh. Ada yang harus kehilangan jabatan.
Tapi saya yakin mengorbanan orang itu tidak sia-sia.
Bayangkan kalau tidak ada dua pabrik Jepang itu. KS bisa lebih parah lagi.
Mengapa saham di dua perusahaan Jepang itu hanya 20 persen?
Pihak Jepang sebenarnya menawarkan 50 persen. Tapi Krakatau Steel tidak punya uang --untuk setor modal sampai 50 persen.
Tapi Jepang tetap menyediakan ruang sampai 50 persen itu. Suatu saat nanti, kalau KS sudah punya uang, ruang itu bisa diambil.
Bahkan Jepang setuju untuk diikat lebih jauh: dua pabrik baru itu harus menjual bajanya ke satu perusahaan milik bersama --yang saham mayoritasnya di pihak Indonesia.
Perusahaan itu bergerak di bidang pemasaran baja. Oleh perusahaan ini baja dari dua pabrik tersebut dijual untuk pasar Indonesia. Yakni pabrik-pabrik mobil Jepang di sini.
Harapannya: dua-tiga tahun lagi laba dua pabrik ini sudah membaik.
Masih ada harapan lain. Satu pabrik lagi akan selesai dibangun. Yang ini 100 persen milik KS.
Setahun lagi pabrik dengan mesin-mesin dari Jerman itu akan bisa operasi. Produknya untuk mendukung pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Maka dua-tiga-empat tahun lagi mestinya KS sangat sibuk. Empat pabrik baru sudah jalan semua. Masih ditambah fasilitas baru yang juga segera selesai dibangun: blast furnace.
Seperti juga pabrik baru yang lain, pabrik baru keempat ini pun ada dramanya. Ada korbannya.
Memang tidak mudah membangkitkan Krakatau Steel. Tapi empat pabrik baru tadi menjadi harapan. Diam-diam di tengah kesulitannya KS bisa punya lima pabrik baru.
Tapi mungkin juga itu belum cukup untuk mengatasi kelemahan mendasar di KS.
Kelemahan mendasar pertama adalah mahalnya energi. Padahal pabrik baja itu haus sekali energi.
Krakatau Steel sangat telat menyadari ini. Sadarnya mungkin tidak telat. Tapi action-nya tidak cepat. Termasuk action saya waktu itu. Sudah membangun empat pabrik baru pun KS masih kurang cepat.
Mestinya dibangun pula infrastruktur energinya. Agar tidak lagi tergantung gas alam.
Naiknya harga gas bumi telah membuat KS tidak kompetitif!
Apalagi, di Indonesia, harga gas dibuat sama untuk siapa saja. Tidak ada kebijakan yang mengistimewakan industri strategis. Atau industri dalam negeri.
Memang Krakatau Steel punya pembangkit listrik sendiri. Tapi bahan bakarnya juga gas!
Padahal sejak 15 tahun lalu sudah banyak industri lain memindahkan bahan bakar ke batubara.
Ada harapan di KS.
Ada tantangan di KS.
Adakah juga ada ketenangan dan kesabaran. (hoi/hoi)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/37xz4jk
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment