Untuk diketahui, RUU Pertanahan sudah digodok sejak 2 Februari 2019. Rencana semula, rancangan beleid itu akan disahkan pada 24 September 2019. Kendati demikian, beberapa pasal RUU Pertanahan itu ada sejumlah keberatan dan polemik. Akhirnya pengesahan RUU Pertanahan ditunda dan dikaji lebih dalam.
Kendati demikian, Sofyan membantah adanya polemik yang ada di dalam RUU Pertanahan tersebut.
"Sebenarnya bagi kita sih tidak ada masalah. Tapi yang menjadi kontroversial itu akan kita bicarakan. [Jikalau] ada LSM (lembaga swadaya masyarakat) keberatan, apa masalah mereka, kita diskusi, dan apa yang akan kita dengar pendapat lagi. Mudah-mudahan enam bulan pertama, 2020 beres," ujarnya.
"Orang yang memprotes itu gak tau apa yang diportes. Nanti kita lihat. Itu semua akan dibahas," imbuh Sofyan.
Adapun beberapa poin pasal kontroversial yang terdapat dalam RUU Pertanahan yang sudah dirangkum CNBC Indonesia. Misalnya, reforma agraria tidak dianggap penting.
Reforma Agraria yang tercantum dalam RUU Pertanahan hanya menyalin dari Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018. Padahal seharusnya, RUU Pertanahan bisa berisikan prinsip-prinsip reforma agraria. Di mana prinsip reforma agraria harus jelas subyek dan pemanfaatannya. Pasalnya konflik agraria masiih banyak terjadi di tanah air.
RUU Pertanahan juga dianggap hanya membela investor dan membuat posisi rakyat semakin lemah dalam konflik agraria. Sehingga masyarakat tidak bisa memegang kendali untuk tanah yang mereka miliki.
Secara perinci, pada Pasal 22 RUU Pertanahan disebutkan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) mencapai 90 tahun. Dan ketika sudah mencapai 35 tahun, bisa diperpanjang untuk kedua kalinya. Padahal sebelumnya, perpanjangan HGU harus dan hanya dilakukan satu kali saja.
Masih dalam Pasal 22 RUU Pertanahan tersebut, pemerintah memberikan pengecualian dengan mempertimbangkan daya tarik investasi. Inilah indikasi pasal itu hanya untuk kepentingan investor. Tidak jelas dalam RUU Petanahan ini pihak mana yang bisa menentukan hal tersebut.
Kemudian dalam Pasal 36 RUU Pertanahan, pemerintah berhak mengambil alih tanah yang tidak bertuan. Misalnya, ada masyarakat yang memiliki beberapa luas tanah, tapi tidak diperpanjang lima tahun sebelum hak atas tanahnya berakhir. Maka tanah itu disebut sebagai tanah yang tidak dibuktikan tanahnya milik siapa dan negara akan mengambil alih sebagai milik negara.
YLBHI juga mencatat ada beberapa pasal yang membuat masyarakat korban penggusuran bisa dipidana. Ini tentu menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi masyarakat tersebut. Hal itu tertuang dalam Pasal 89 RUU Pertanahan, di mana pemerintah berhak mengkriminalisasi masyarakat yang berusaha untuk mempertahankan dari penggusuran akan dipidana.
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Oupcht
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment