Di pasar spot harga emas tiba-tiba menguat cukup tajam pada perdagangan Jumat malam (23/8/19) setelah China mengenakan tarif tambahan terhadap produk impor dari Amerika Serikat (AS). Tak lama berselang Presiden AS menaikkan tarif impor barang China dari 25% menjadi 30% untuk produk-produk senilai US$ 250 miliar mulai 1 Oktober 2019.
Perang dagang antara AS dengan China semakin memburuk dan meningkatkan kekhawatiran akan terjadi resesi.
Hingga Jumat malam 21:06 WIB, emas diperdagangkan di level US$ 1.503,51/troy ons atau menguat 0,33% berdasarkan data Refinitiv. Sebelumnya logam mulia ini sempat turun ke level US$ 1.492,7 per troy ons.
Sebelumnya pada 1 Agustus lalu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara tiba-tiba mengumumkan akan mengenakan tarif impor sebesar 10% terhadap produk China. Nilai total produk yang dikenakan tarif senilai US$ 300 miliar dan akan diberlakukan mulai 1 September.
Sejak saat itu pemerintah China "membisu" dan membalas AS dengan mendevaluasi nilai tukar yuan hingga ke level terendah lebih dari satu dekade melawan dolar AS. Tidak ada pernyataan yang keluar dari para pejabat China, hanya bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang konsisten mendevaluasi kurs yuan hingga ke atas 7/US$, level yang dianggap kritis, dan menguntungkan China dari sisi perdagangan international.
Pelaku pasar memperkirakan China hanya membalas dengan mendevaluasi yuan dan tidak menaikkan tarif impor produk AS. Pemerintah Washington pun berusaha memperbaiki keadaan dengan menunda kenaikan tarif impor beberapa produk dari China yang sejatinya berlaku 1 September nanti. Bahkan ada beberapa produk yang batal dikenakan tarif impor.
Namun tiba-tiba China membuat kejutan dengan mengenakan tarif baru untuk produk impor dari AS. Pemerintah China akan menaikkan tarif impor mulai dari 5% sampai 10% terhadap produk-produk dari Paman Sam senilai US$ 75 miliar, dan mulai berlaku pada 1 September dan 15 Desember.
Tidak hanya itu, China kembali mengenakan tarif sebesar 25% terhadap mobil dari AS yang akan masuk ke China, dan untuk suku cadangnya akan dikenakan tarif sebesar 5%. Kebijakan ini sebelumnya dihentikan pada bulan April lalu, dan kini akan diberlakukan lagi mulai 15 Desember.
Dengan adanya balasan dari China, hubungan kedua negara tentu akan memanas lagi, perang dagang kedua negara bisa jadi akan semakin berlarut-larut dan emas kembali mendapat dorongan penguatan.
Meski demikian, pergerakan harga emas juga masih akan dipengaruhi pidato ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell yang sedang berlangsung hingga berita ini ditulis. Arah dan besarnya pergerakan emas akan ditentukan sikap Powell terkait suku bunga di AS.
Kondisi ekonomi dan pasar finansial global yang dipenuhi ketidakpastian tentunya membuat nilai dari aset-aset safe haven meningkat, pemegangnya sudah berpotensi cuan. Eskalasi ketidakpastian memang terjadi sejak awal Agustus, tetapi sebenarnya tanda-tandanya sudah muncul sejak awal tahun ketika perekonomian dunia menunjukkan pelambatan.
Sejak awal tahun ini, emas menjadi aset safe haven yang paling cuan. Harga emas dunia di pasar spot mencatat kenaikan lebih dari 15% sejak awal tahun hingga saat ini atau secara year-to-date (ytd) berdasarkan data dari Refinitiv.
Sementara itu, dolar AS sebagai mata uang yang dianggap safe haven kali ini kalah bersinar dibandingkan yen. Tercatat yen melawan dolar AS menguat hampir 2% ytd. Jika berhadapan dengan franc, dolar AS lebih unggul dengan mencatat kenaikan 0,53%.
Jika dilihat sepanjang bulan Agustus, emas juga masih menjadi aset safe haven paling bersinar. Logam mulia ini menguat hampir 6%, disusul yen 1,9%, dan franc kali ini mengungguli dolar sebesar 0,8%.
Memang jika dibandingkan dengan mata uang, emas yang merupakan aset yang jumlahnya terbatas di dunia ini tentunya lebih unggul. Selain dianggap sebagai safe haven, emas juga merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi.
Selain itu kurs mata uang walaupun itu safe haven tentunya dipengaruhi oleh kebijakan moneter bank sentral masing-masing. Jika bank sentral melonggarkan kebijakan moneter baik itu dengan pemangkasan suku bunga maupun dengan kebijakan tidak biasa (unconventional) maka mata uangnya akan melemah.
Hal sebaliknya terjadi di emas, jika banyak bank sentral melonggarkan kebijakan moneter, maka harga emas cenderung menguat. Hal ini terjadi akibat potensi terjadinya kenaikan inflasi, dan investor untuk melindungi kekayaannya memilih berinvestasi di emas. Jadi, dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, emas adalah juaranya.
Satu lagi aset yang dianggap safe haven adalah obligasi pemerintah AS. Namun investasi obligasi tentunya berbeda dengan berinvestasi di komoditas dan mata uang. Berinvestasi di obligasi memberikan return yang tetap. Memang yield obligasi bergerak dinamis, tetapi pergerakan itu tidak mencerminkan berada imbal hasil yang diperoleh jika berinvestasi di obligasi sejak awal.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun yang jadi acuan misalnya, pada 2 Januari 2019 berada di 2,661%. Jika membeli obligasi saat itu, maka cuan yang didapat sebesar 2,661% per tahun. Sementara pada hari ini, yield Treasury tenor 10 tahun berada di level 1,6657%, lebih rendah dibandingkan posisi awal tahun.
Melihat yield tersebut, investasi di emas sejak awal tahun jelas menghasilkan cuan lebih besar dibandingkan obligasi. Sekali lagi, emas adalah juaranya.
Investasi Emas atau Deposito Saja?
[Gambas:Video CNBC] (hps)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Zo7aF2
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment