Wednesday, August 21, 2019

Pak Jokowi, Apa Benar RI 'Dikutuk' Impor Pangan Seumur Hidup?

Jakarta, CNBC IndonesiaSektor pertanian di Indonesia masih terus menyisakan masalah dalam perekonomian.

Teranyar, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di sektor Pertanian (tidak termasuk kehutanan dan perikanan) pada semester I-2019 hanya sebesar 3,41% atau lebih rendah dibanding tahun sebelumnya (semester I-2018) yang sebesar 3,88%. Ini juga merupakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian yang paling rendah sejak semester II-2017.

Perlu diingat bahwa yang termasuk dalam PDB pertanian ini adalah:

  • Tanaman Pangan
  • Tanaman Hortikultura
  • Tanaman Perkebunan
  • Peternakan
  • Jasa Pertanian dan Perburuan

Sementara sektor kehutanan, penebangan kayu, dan perikanan tidak masuk perhitungan.

Bahkan khusus untuk sektor tanaman pangan, pertumbuhan PDB di semester I-2019 tercatat negatif alias terkontraksi sebesar 0,42%. Padahal, masa panen raya tahun ini ada di semester I, yaitu sekitar bulan April-Juni yang dapat dimanfaatkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Tahun lalu masa panen juga ada di semester I, yang mana jatuh sekitar bulan Maret.

Tanaman pangan menjadi sangat penting karena menyumbang sekitar 30% terhadap total PDB pertanian. Kala pertumbuhan ekonomi di sektor tanaman pangan melambat, pertanian secara keseluruhan juga menjadi terhambat.

Bila ditilik sejak tahun 2013, sejatinya pertumbuhan ekonomi pertanian terus berada dalam tren perlambatan.

Celakanya lagi, belum pernah sekalipun pertumbuhan PDB pertanian lebih tinggi daripada total pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Artinya, laju pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor lainnya lebih kencang dari pertanian. Selain itu ini juga menjadi pertanda bahwa pertumbuhan konsumsi masyarakat selalu terus melampaui pertumbuhan pertanian.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka ada satu permasalahan terkait pangan di Indonesia yang semakin sulit untuk diberantas.

Impor Pangan Jadi Kegiatan Rutin Tahunan

Catatan perdagangan luar negeri memperlihatkan bahwa sudah sejak tahun 1960 Indonesia terus melakukan impor beras.

Pada tahun 2018, impor beras bahkan bengkak menjadi lebih dari 2 juta ton. Teranyar sepanjang Januari-Juni 2019, BPS mencatat impor beras telah mencapai 203 ribu ton.

Memang, jumlah impor beras relatif kecil ketimbang produksi beras dalam negeri. Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat produksi beras di tahun 2018 mencapai 83 juta ton.

Mungkin jika impor beras dilakukan sesekali sebagai antisipasi dari faktor cuaca yang mempengaruhi musim panen, masyarakat bisa paham dan maklum. Pasalnya, impor terkadang memang diperlukan untuk menjaga harga di tingkat konsumen. Menjaga konsumsi masyarakat memang kerap kali menjadi prioritas. Ingat, lebih dari 50% PDB Indonesia masih disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Namun karena impor ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa pernah absen sekalipun, wajar apabila rakyat Indonesia mempertanyakan kinerja para pemangku jabatan terkait.

Apa iya Indonesia benar tak mampu menutup impor beras yang 'katanya' cuman sedikit itu dengan produksi dalam negeri?

Impor Jumbo, Beras Bulog Malah Terancam Busuk

Bahkan anehnya lagi, pada akhir Juni 2019 Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog), Budi Waseso (Buwas) mengatakan bahwa gudang penyimpanan beras miliknya sudah hampir penuh, sementara beras-beras yang disimpan terancam busuk karena belum disalurkan.

"Kapasitas gudang kita 2,6 juta ton, sekarang sudah mencapai 2,3 juta ton. Tinggal 300 ribu ton lagi penuh, tidak bisa menyerap lagi. Tinggal nunggu busuk karena tidak disalurkan," kata Buwas di kawasan persawahan RS UNS, Sukoharjo, Jumat (21/6/2019), dikutip dari detikfinance.

Fenomena tersebut menjadi tanda tanya besar soal tata kelola pangan di Indonesia. Impor terus dilakukan, sementara beras di gudang terancam membusuk.

Selain itu, nilai impor beras juga tidak bisa dibilang kecil. Pada tahun 2018, total nilai impor beras mencapai US$ 1,03 miliar atau setara dengan Rp 14,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Nilai tersebut tentu tidak bisa dipandang sebelah mata.

Tidak Hanya Beras

Sejatinya permasalahan pangan bukan terhenti pada beras. Jagung juga memiliki nasib serupa. Pada tahun 2018, total impor jagung Indonesia mencapai 737,2 ribu ton senilai US$ 159,4 juta (Rp 2,2 triliun). Jumlah impor jagung pada tahun 2018 meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 517,4 ribu ton senilai US$ 114,07 (Rp 1,59 triliun).

Sama halnya dengan beras, impor jagung juga dilakukan setiap tahun tanpa absen sekalipun setidaknya sejak 1989. Menandakan bahwa produksi dalam negeri tidak pernah dibuat mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri.

Ternyata tidak hanya tanaman pangan, hortikultura pun bernasib serupa.

Pada tahun 2018, tercatat ada sebanyak 582 ribu ton bawang putih impor yang masuk ke Indonesia dengan total nilai mencapai US$ 497 juta, berdasarkan data dari UN Comtrade. Dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$ nilai tersebut setara dengan Rp 6,96 triliun.

Tentu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi dilakukan setiap tahun.

Bahkan dari UN Comtrade diketahui bahwa Indonesia merupakan importir bawang putih terbesar di dunia. Disusul oleh Brazil dan Malaysia di urutan kedua dengan total volume masing-masing sebesar 164 ribu ton dan 151 ribu ton.

Impor Rutin, Korupsi Bergentayangan

Nah, masalah lain dari kegiatan impor yang berlangsung tiap tahun adalah praktik korupsi yang berpotensi dilakukan oleh pemburu rente.

Buktinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin impor bawang putih pada awal bulan ini. Dalam kasus tersebut, untuk meloloskan izin impor bawang putih sebesar 20.000 ton setidaknya perlu uang komisi Rp 36 miliar dan fee sebesar Rp1.800/kg.

KPK menegaskan biang kerok masalah suap impor bawang putih adalah kuota impor pangan. Yakni lemahnya koordinasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

"Titik lemahnya itu sebenarnya kan sebenarnya komoditas dari pertanian itu kan ada Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan. Tetapi ini kelihatannya antara Kementerian Perdagangan dan Pertanian nggak selalu sinkron," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung Lemhannas, Jakarta Pusat, Jumat (9/8/2019).

Kuota impor selalu menjadi alasan bagi oknum pejabat untuk mencari rente, sementara pengusaha hitam pun lebih senang dengan cara bawah tangan.

"Ini harus disetop, pemerintah ini harus tegas menurut saya. Penentuan kuota-kuota ini selalu menjadi lahan untuk suap-menyuap. Karena hampir semua komoditi. Sehingga di pasar masih kelebihan pun karena ingin mendapat keuntungan ekonomi mereka," lanjutnya.

Proses izin impor produk hortikultura macam bawang putih selama ini harus lewat pintu Kementerian Pertanian sebagai pemberi rekomendasi, sedangkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang memberikan izin.

Data Pertanian Tidak Transparan

Faktanya, hingga kini pemerintah tidak mempublikasikan data perkembangan produksi, konsumsi, cadangan, maupun neraca bahan pangan kepada masyarakat.

Data produksi pangan selalu dipublikasikan belakangan berupa rekaman historis. Setelah rekomendasi impor telah diberikan. Setelah impor telah dilakukan.

Teranyar, hingga hari ini (21/8/2019) yang mana sudah masuk bulan ke-8, data produksi tanaman pangan tahun 2019 di situs resmi Kementerian Pertanian masih tercatat 0 alias tidak ada rekaman.

Sumber: Kementerian Pertanian

Padahal data tersebut bisa menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat jika memang benar Indonesia butuh impor pangan.

Seakan-akan masyarakat dibuat buta dan terpaksa menerima keputusan impor pangan pada akhirnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(taa)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Z5CtVL
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment