Wednesday, August 21, 2019

RAPBN 2020 Dinilai Prudent, Tapi Waspadai Tantangan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan APBN 2020 yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus pekan lalu dinilai mencerminkan kebijakan fiskal yang tetap berkehati-hatian (prudent) terutama karena target defisit anggaran yang cukup rendah yaitu 1,8% dari produk domestik bruto (PDB). Angka target tersebut masih jauh di bawah batas atas 3% dari PDB dan tidak banyak berubah dari target tahun ini 1,9% dari PDB.  

Analis Fitch Ratings Thomas Rookmaaker dan Sagarika Chandra dalam risetnya pekan ini (20/8/19) menilai meskipun defisitnya ditargetkan stabil, ditambah dengan masih besarnya niatan menggenjot pengembangan infrastruktur maka sudah mencerminkan peran penting BUMN tahun depan. 


"...Hal tersebut mengindikasikan bahkan BUMN akan kembali memiliki peran penting dalam pendanaan proyek seperti itu [infrastruktur] dan utang mereka dapat naik," ujar Rookmaaker dan Chandra. 

Target pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari naiknya PDB dalam RAPBN 2020 sebesar 5,3% dinilai lebih optimistis dibandingkan dengan prediksi Fitch Ratings yaitu 5,1%, sedangkan angka target inflasi 6% dan nilai tukar juga sejalan dengan prediksi mereka. 

Secara lebih luas, fokus RAPBN 2020 pada beberapa hal yang dapat meningkatkan potensi pertumbuhan dalam jangka menengah seperti edukasi dan latihan kejuruan, birokrasi yang lebih efisien, dan percepatan pengembangan infrastruktur. 

Dampak dari kebijakan itu terhadap pertumbuhan ekonomi baru terasa setelah beberapa waktu dan akan sangat tergantung dari implementasi dari rencana pemerintah. 

Saat ini, Fitch Ratings menilai kondisi utang Indonesia seimbang karena mampu menurunkan level utang pemerintah yang diimbangi dengan tingginya ketergantungan pemerintah pada pendanaan luar negeri. 

Level utang pemerintah sudah turun menjadi 29,8% dari PDB yang lebih rendah versus median historis negara berperingkat sama (peers) yaitu 36,2%. Kedua faktor yang bertolak belakang tersebut dinilai analis Fitch Ratings seimbang, yang juga menyangkut beberapa faktor lain. 

Faktor positif lain pemerintah yang digarisbawahi lembaga pemeringkat internasional itu adalah prospek pertumbuhan ekonomi melalui berkembangnya PDB, sedangkan faktor negatif adalah rendahnya penerimaan negara dan beberapa indikator struktural yang masih di bawah negara dengan peringkat serupa. 

Saat ini, peringkat utang Indonesia melalui kacamata Fitch Ratings adalah BBB, setara dengan Bulgaria, Kolombia, Hungaria, Italia, Kazakhstan, Panama, Filipina, dan Portugal. Peringkat Indonesia itu masih lebih rendah daripada negara Andorra, Meksiko, Peru, dan Thailand yang memiliki peringkat BBB+.  

Secara umum, selain faktor level utang yang turun, kedua analis itu mengatakan beberapa faktor positif lain untuk Indonesia adalah sistem perbankan yang memungkinkan permodalannya cukup dan menjadi bemper menghadapi potensi guncangan ke depannya.  

Di sistem perbankan Tanah Air, porsi kredit swasta tercatat hanya 35,7% dari PDB, dibanding dengan rata-rata negara yang berperingkat serupa 58,6%. Faktor lain adalah tingginya serta lebih stabilnya (lebih tidak volatil) pertumbuhan PDB Indonesia yang masih berada di sekitar 5%, dibanding negara berperingkat BBB lain yang memiliki median 3,6%. 

Makroekonomi jangka panjang Indonesia juga didukung oleh tingkat simpanan domestik yang relatif tinggi yaitu 31,4% dibanding negara serupa lainnya 22,5%.  

Di sisi lain, faktor yang melemahkan Indonesia adalah ketergantungan pada ekspor komoditas dan ketergantungan pada investor asing di dalam postur utangnya.

Cadangan devisa valasnya yang setara 5,5 bulan pembayaran utang masih relatif lebih tinggi daripada peers yang lebih rendah yaitu 4,9 bulan. Meskipun iklim bisnis membaik sebagai dampak reformasi, tetapi masih lebih rumit dibanding negara BBB lain karena lemahnya standar pemerintahan, pencegahan korupsi, dan de bottlenecking proyek infrastruktur. 

Rendahnya penerimaan negara, setara dengan estimasi Fitch Rating 14,7% dari PDB, dibanding dengan median negara BBB lain yang mencapai 31,7% dan belanja modal yang membatasinya. 

Faktor terakhir adalah PDB per kapita yang masih tetap rendah yaitu US$ 3.903 dibanding dengan median negara BBB lain yang tinggi yaitu US$ 10.704, yang juga dibarengi dengan indeks pengembangan sumbar daya manusia yang lebih rendah di antara negara lain yang setara.  


 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(irv)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/30lgjLK
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment