Sebagian kalangan menilai kenaikan ini bakal memberatkan. Namun Direktur Utama Badan Pengelola Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris meminta agar masyarakat tidak berfikir demikian.
Dirinya menerangkan, kenaikan iuran nominalnya masih lebih rendah dari perhitungan para ahli. Misalnya untuk kelas 1 melalui Perpres Rp 160 ribu, padahal seharusnya Rp 274 ribu.
Menurutnya pemerintah hanya mematok Rp 160 ribu karena masih ada subsidi. "Gambarannya harus berimbang, jangan kelihatan pemerintah terkesan membuat masyarakat menderita," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPJS Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Terkait banyaknya pihak yang mempertanyakan apakah dengan kenaikan iuran akan bedampak ke daya beli buruh, ia pun memiliki pernyataan sendiri. Dijelaskannya, buruh yang merasakan dampak dari kenaikan iuran ini hanya yang berpenghasilan Rp 8 juta ke atas.
Kelompok ini jumlahnya tidak lebih dari 5%. "Patokannya Rp 8 juta, jadi 95 persen penerima upah tidak terpengaruh rasionalisasi aturan," terangnya.
Sehingga penurunan daya beli akibat naiknya iuran tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan bagi masyarakat yang terdampak, pengaruhnya tidak signifikan, yakni Rp. 27.000 yang mencakup 5 orang."
"Jadi tidak fair kalau dikatakan ini akan menurunkan daya beli buruh atau pekerja," katanya lagi.
Ia pun berjanji kenaikan iuran akan diikuti dengan perbaikan kualitas pelayanan. Selain itu fasilitas kesehatan juga akan diperhatikan.
"Jadi dampak penyesuaian ini akan meningkatkan layanan. Perbaikan layanan butuh dukungan dari semua pihak," jelasnya.
(sef/sef)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2C2o2Ut
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment