Friday, September 20, 2019

Likuiditas Kering Kerontang, AS Pasti Masuk Jurang Resesi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah hiruk-pikuk sentimen yang mewarnai pasar keuangan dunia seperti perang dagang AS-China dan arah kebijakan moneter dari The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS, ada satu hal yang sejatinya penting namun kurang mendapat perhatian dari pelaku pasar.

Hal yang dimaksud tersebut adalah keringnya likuiditas di sistem perbankan AS. Pada hari Selasa (17/9/2019), overnight borrowing rates di AS meroket, memaksa The Fed untuk turun tangan dengan menggelontorkan dana segar dalam jumlah yang besar.


Di Indonesia, overnight borrowing rates biasa dikenal dengan nama suku bunga pasar uang antar bank (PUAB). Suku bunga tersebut merupakan suku bunga yang dikenakan oleh suatu bank kepada bank lain ketika meminjam dana, yang biasanya dalam jumlah besar namun dengan tenor yang sangat pendek (hitungan hari).

PUAB sangatlah penting bagi perbankan karena merupakan sumber pendanaan utama mereka dalam memenuhi ketentuan regulasi. Di dunia perbankan, ada yang dikenal dengan istilah "kalah kliring". Kalah kliring terjadi kala dana yang mengalir keluar dari sebuah bank lebih besar ketimbang dana yang mengalir masuk ke bank tersebut. Selisih dari dana yang keluar dengan dana yang masuk harus dinolkan dan PUAB menjadi tempat bagi bank untuk mencari pendanaan secara instan.

Tingkat suku bunga PUAB sangat perlu untuk dijaga di level yang sudah dipatok bank sentral. Ketika tingkat suku bunga PUAB kelewat jauh melampaui target, maka tingkat suku bunga pinjaman yang ditawarkan ke masyarakat akan menjadi tinggi juga sehingga bisa menekan aktivitas penyaluran kredit.

Federal Funds Rate yang merupakan tingkat suku bunga acuan di AS merupakan nama lain dari overnight borrowing rates. The Fed memiliki wewenang untuk mematok rentang dari Federal Funds Rate tersebut untuk kemudian direalisasikan dengan menggunakan instrumen-instrumen yang tersedia.

Pada hari Senin (16/9/2019), masalah sudah mulai terlihat kala overnight borrowing rates menyentuh level 5%, jauh di atas rentang FFR yang berada di level 2%-2,25%. Pada hari Selasa, overnight borrowing rates sempat meroket hingga 10%, memaksa The Fed untuk melakukan intervensi.

New York Federal Reserve menyuntikkan dana segar senilai US$ 53 miliar menggunakan mekanisme yang disebut overnight repo operation. Melalui mekanisme ini, The Fed membeli surat utang dan surat berharga lain yang dimiliki oleh perbankan. Perbankan lantas mendapatkan dana segar sehingga kebutuhan untuk meminjam di PUAB menjadi berkurang dan tingkat suku bunga di sana mengendur.

Masalah tak berakhir di hari Selasa. Pada hari Rabu (18/9/2019), Kamis (19/9/2019), dan Jumat (20/9/2019), permasalahan ketatnya likuiditas kembali mencuat dan memaksa New York Federal Reserve untuk menyuntikkan dana segar dengan nilai yang luar biasa besar, yakni US$ 75 miliar setiap harinya. Jika ditotal, suntikan dana yang diberikan pada hari Selasa hingga Jumat mencapai US$ 278 miliar.

Melansir CNN, intensitas intervensi yang dilakukan The Fed dalam beberapa hari terakhir tak pernah didapati dalam lebih dari satu dekade terakhir.

Berdasarkan data terakhir yang kami himpun dari Refinitiv, tingkat suku bunga PUAB di AS berada di level 2,25%. Sudah berkurang dari titik tertingginya pada hari Senin yang mencapai 10%, namun masih di atas rentang yang ditetapkan oleh The Fed.

Sebagai informasi, pada Kamis dini hari waktu Indonesia The Fed mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke rentang 1,75%-2%, menandai pemangkasan kedua di tahun ini pasca sebelumnya The Fed juga mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan Juli.

Menipisnya likuiditas di sistem perbankan terjadi kala AS santer diproyeksikan akan masuk ke jurang resesi. Terhitung dalam periode 23-29 Agustus 2019, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek. 

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi. 

Untuk diketahui, berdasarkan model yang digunakan oleh Federal Reserve Bank of New York dengan data per Agustus 2019, probabilitas terjadinya resesi di AS dalam periode 12 bulan ke depan sudah mencapai 37,9%.

Bahkan, Larry Summers selaku Profesor Universitas Harvard dan mantan menteri keuangan AS mengatakan peluang terjadinya resesi sebelum tahun 2021 telah berada di angka hampir 50%.

"Saya belum pernah mendengar hal seburuk ini sejak krisis keuangan," kata Summers mengenai kondisi ekonomi AS dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Apa Penyebabnya?

(ank/roy)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2OdPndR
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment