
Kabar tersebut sempat membuat harga saham APLN melambung hingga 32% atau hampir saja menyentuh batas auto reject atas (ARA). Pada saat penutupan perdagangan, harga saham APLN tercatat naik 26,60% ke level harga Rp 238/unit.
Kenaikan harga saham tersebut juga ditopan oleh volume dan nilai transaksi yang besar. Volume transaksi tercatat mencapai 857,28 juta saham senilai Rp 200,89 miliar.
Rumor di pasar tersebut menyebutkan APLN akan menjual Mal Central Park dan Senayan City. Nilai penjualan Central Park mencapai Rp 4 triliun.
Kedua mal tersebut merupakan milik APLN dan rencana penjualan aset ini sebenarnya sudah terhembus sejak perseroan mengalami kesulitan likuiditas.
CNBC Indonesia mengkonfirmasi hal ini kepada Corporate Secretary APLN Justini Omas, yang menyatakan kabar tersebut tidak benar.
"wah...rumor ini saya justru tahunya dari media juga," kata Justini kepada CNBC Indonesia.
APLN memaang sedang mengalami kesulitan likuiditas saat ini. Ini membuat rating atau peringkat perusahaan diturunkan menjadi CCC- dari sebelumnya B- oleh Fitch Ratings.
Menurut Fitch, penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp 1,17 triliun.
Berdasarkan laporan Fitch yang dirilis 17 Juli 2019, APLN dianggap gagal mengumpulkan dana yang cukup dari perbankan lokal untuk membiayai kembali Rp 1,3 triliun obligasi domestik perusahaan dan Rp 1,3 triliun utang sindikasi yang jatuh tempo antara Juni 2019 dan Januari 2020.
APLN awalnya berencana untuk mengumpulkan dana mencapai Rp 2,6 triliun, tapi akhirnya dana yang didapat hanya sebesar Rp 750 miliar.
Namun, melansir laporan Fitch, para kreditur memberi kelonggaran dengan memperpanjang tanggal jatuh tempo surat obligasi domestik menjadi 30 September 2019.
Akan tetapi, Fitch menganggap bahwa APLN akan tetap kesulitan memenuhi tenggat waktu tersebut mengingat arus kas operasi perusahaan masih mencatatkan rapor merah. Hingga akhir Juni 2019, arus kas operasi APLN tercatat minus Rp 880,23 miliar. Hal ini sudah menjadi indikasi rendahnya tingkat likuiditas perusahaan.
Penyebab arus kas operasi perusahaan membukukan rapor merah dikarenakan perusahaan masih belum mampu menghasilkan pemasukan yang cukup dari pre-sales untuk membayar biaya operasional, termasuk beban bunga serta modal kerja.
Pemasukan dari pre-sales APLN terbilang kurang memadai karena adanya proyek bangunan tinggi (high-rise) di luar Jabodetabek, di mana wilayah tersebut cenderung memiliki pre-sales yang rendah.
Fitch memproyeksi, arus kas operasi perusahaan akan tetap negatif setidaknya dalam dua tahun ke depan.
Dengan kondisi demikian, Fitch tidak dapat mempertahankan peringkat 'B' karena arus kas operasi perusahaan sulit pulih dalam jangka waktu dekat.
Ibu Kota Baru Diumumkan, Agung Podomoro Langsung Jualan
Moody's Investors Service juga menurunkan peringkat APLN beserta Senior Notes 2024 menjadi 'B2' dari 'B1' dengan prospek pada semua peringkat diubah menjadi peringkat 'Dalam Pengawasan' dari 'Negatif'.
Lalu PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) ikut menurunkan peringkat APLN menjadi BBB dengan outlook credit wacth dengan implikasi negatif. Penurunan ini disebakan karena kondisi likuiditas perusahaan yang terbatas untuk melakukan pembiayaan kembali (refinancing) utang yang akan jatuh tempo 12 bulan ke depan. (hps)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Lj1qEG
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment