
Pada pukul 20:15 WIB, poundsterling diperdagangkan di level US$ 1,2354 atau menguat di 0,59% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Mata uang Inggris ini kini berada di level terkuat sejak 29 Juli lalu.
Office for National Statistic (ONS) melaporkan data pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) bulan Juli tumbuh 0,3% secara bulanan atau month-on-month (MoM) dari bulan Juni yang stagnan 0%.
Pertumbuhan PDB di bulan Juli tersebut lebih tinggi dari prediksi di Forex Factory sebesar 0,1%.
ONS juga melaporkan produksi manufaktur di bulan Juli tumbuh 0,3% MoM dari bulan sebelumnya yang terkontraksi 0,2%. Sama dengan PDB, data ini juga mematahkan prediksi di Forex Factory yang malah memprediksi penurunan 0,3%.
Rilis dua data tersebut tentunya menjadi kabar bagus bagi Inggris memasuki kuartal III-2019. Pada kuartal II-2019, ekonomi Inggris berkontraksi 0,2% yang membuat ancaman resesi semakin nyata.
Poundsterling sebenarnya sudah mendapat sentimen positif sejak pekan lalu setelah Parlemen Inggris sukses untuk mencegah no-deal Brexit alias keluarnya Negeri Ratu Elizabeth dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun.
Parlemen Inggris melakukan voting dan hasilnya menyepakati pembuatan rancangan undang-undang yang mencegah terjadinya no-deal Brexit. Voting lain juga menghasilkan Pemerintah Inggris harus meminta penundaan deadline Brexit selama tiga bulan kepada Uni Eropa.
Selain itu, Perdana Menteri (PM) Boris Johnson yang bermanuver untuk melakukan Pemilu sela juga kandas di hadapan parlemen. Pemilu tersebut tentunya dimaksudkan untuk merombak susunan parlemen agar diisi mayoritas pendukungnya.
Bank investasi Goldman Sachs kini memprediksi potensi terjadinya no-deal Brexit sebesar 20%, turun dari sebelumnya 25%, sementara probabilitas terjadinya deal naik menjadi 55% dari sebelumnya 45%, sebagaimana dilansir Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2LHMb7r
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment