Sesuai aturan, target DMO adalah 25% dari produksi tambang. Namun, persoalan disparitas harga antara domestik dan pasar luar negeri membuat para penambang lebih memilih ekspor ketimbang dijual di dalam negeri.
"Perusahaan cenderungnya ekspor, kalau lebih prefer ke dalam negeri pasti tidak ada DMO," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot, Rabu (20/11/2019).
Menurutnya, ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah. Sebab, DMO tidak sekadar memasok ke pasar domestik tapi juga harus melihat dari sisi sumber pasokan, lokasi, dan zonasi dengan PLN yang merupakan konsumen terbesar.
"Kebijakan DMO, saya sedang mencari bagaimana yang mendekati. Adil tidak mungkin, tapi sama-sama fair," jelas Bambang.
Pemerintah sempat memberlakukan skema transfer kuota, namun tidak semua gembira dengan kebijakan tersebut. Ada yang mengapresiasi karena memang kuota produksinya berlebih dan bisa dijual, namun ada penambang yang keberatan membeli dari transfer kuota karena harga yang tinggi.
Dari sisi produksi, sebenarnya produksi batu bara RI terus melonjak. Di 2018 misalnya dari target 487 juta ton malah terealisasi sampai 530 juta. Tahun ini, diproyeksi bisa mencapai 600 juta ton. Jika tak dikendalikan, menurutnya malah bisa tembus 700 juta ton.
Ini, lanjutnya, menjadi perhatian pemerintah karena tidak diimbangi dengan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan baru. Jika dibiarkan berlarut, produksi bisa menguras cadangan dengan cepat.
"Eksplorasi di Indonesia khususnya untuk minerba, itu dananya sangat kecil sekali. Minim ada eksplorasi baru, kecil ada cadangan baru," sebutnya.
(gus/gus)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2O2YT2W
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment