
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja mencabut izin usaha bank perkreditan rakyat (BPR) di Depok, Jawa Barat di awal pekan ini. BPR yang dimaksud adalah PT Bank Perkreditan Rakyat Fajar Artha Makmur lantaran kondisi keuangan perusahaan yang makin memburuk.
Ternyata ini bukan pertama kalinya OJK mencabut izin usaha BPR di wilayah yang sama. Tahun lalu, masih di Depok, Jawa Barat, sebuah BPR lainnya yakni PT BPR Mega Karsa Mandiri juga dicabut izinnya.
Penutupan bank tersebut terhitung sejak tanggal 5 Juni 2018. BPR ini berlokasi tepatnya di Jl. Cinere Raya Blok M No.83, Kota Depok, Propinsi Jawa Barat.
Selain di Depok, tahun ini, dua BPR di Bali juga telah mengalami kondisi yang sama. Izin usaha BPR Legian dikeluarkan melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-103/D.03/2019 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Legian terhitung sejak 21 Juni 2019.
BPR Legian dinyatakan tak mampu melakukan penyehatan dalam jangka waktu pengawasan khusus sesuai ketentuan maksimal 2 bulan dari tanggal 28 Maret-28 Mei 2019.
Lebih parahnya, dana nasabah oleh BPR ini justru digunakan untuk foya-foya demi kepuasan pribadi si pemegang sahamnya. Dana mencapai Rp 10 miliar-Rp 20 miliar digunakan untuk membeli mobil, apartemen dan lain-lain.
Masih di Bali, BPR Calliste Bestari juga dicabut izinnya oleh OJK per tanggal 13 Agustus 2019.
Penyebab BPR Callieste bermasalah karena adanya praktek perbankan yang tidak sehat baik oleh pengurus maupun pemegang saham sehingga kinerja keuangan BPR menjadi buruk terutama rasio KPMM (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum) tidak memenuhi standar yang ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku paling sedikit 8%.
Selain empat BPR ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga telah melikuidasi enam BPR sepanjang periode Januari-Juli 2019.
Penyebabnya masih sama, karena manajemen bank tidak bisa menjalankan tata kelola perusahaan (good corporate governance) dengan baik.
Keenam BPR yang ditutup tersebut yakni BPR Safir, BPR Panca Dana, dan BPRS Jabal Tsur. Adapun tiga lainnya yakni BPRS Muamalat Yotefa, BPR Efita Dana Sejahtera dan termasuk BPR Legian.
Kepala Kantor Manajemen dan Perumusan Kebijakan LPS Suwandi menyatakan, BPR yang dilikudiasi itu tidak menyajikan laporan keuangan yang kredibel.
"Setelah pemeriksaan OJK, banyak kredit macet, kualitas aktiva produktif macet, CAR [rasio modal minimum] anjlok," kata Suwandi ketika itu di Cirebon, Sabtu (29/7/2019).
Sejak periode 2005 hingga Juli 2019, LPS menangani 98 bank gagal dengan jumlah klaim mencapai Rp 1,4 triliun. Rinciannya, 96 BPR ditutup, satu bank umum ditutup dan satu bank umum yang diselamatkan.
Dari jumlah tersebut, jumlah BPR yang paling banyak dilikuidasi berada di Jawa Barat, yakni 34 bank, di Sumatera Barat ada 16 bank bermasalah.
Sebagai informasi, mengacu data OJK, hingga Agustus jumlah BPR di seluruh Indonesia sebanyak 1.579 BPR, atau berkurang 18 bank dari akhir Desember 2018 yakni 1.597 bank.
Secara nasional, hingga Agustus aset, dana pihak ketiga dan kredit industri BPR terus berkembang yaitu total aset industri BPR mencapai Rp 143,2 triliun (9,62% yoy), DPK sebesar Rp 97,9 triliun (10,82% yoy), dan kredit yang disalurkan sebesar Rp106,1 triliun (11,44% yoy).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan pihaknya terus berupaya mendorong industri perbankan termasuk BPR untuk memperkuat kelembagaannya dengan meningkatkan struktur permodalan melalui merger. Merger BPR merupakan bagian dari Program Konsolidasi Perbankan dalam rangka memperkuat industri perbankan.
"Untuk memperkuat Industri BPR yang sehat dan produktif diperlukan kelembagaan BPR dengan dukungan permodalan yang kuat agar BPR dapat menyediakan dana bagi sektor rill khususnya usaha mikro dan kecil serta agar BPR dapat menyerap risiko-risiko yang mungkin terjadi," kata Heru, dalam siaran pers, di situs resmi OJK.
NPL sektor konstruksi mengkhawatirkan?
(tas/tas)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Oa5pDA
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment