Saturday, November 16, 2019

Curhat Penambang Nikel: Harga Murah dan Dugaan Kartel Smelter

Jakarta, CNBC Indonesia -Pengusaha nikel Indonesia melalui Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey berharap pemerintah segera mengeluarkan aturan terkait tata niaga nikel ore domestik.

Ini dilakukan agar dapat mengakomodir kepentingan penambang hingga pengusaha smelter.
"Dari dulu kami bersuara agar pemerintah harus segera mengatur regulasi tata niaga domestik. Pemerintah harus hadir," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu, (13/11/2019).

Meidy menyebutkan kejelasan aturan sangat penting bagi keberlangsungan penambangan nikel sekaligus investor smelter pengolahan ore nikel. Peran serta pemerintah menurutnya harus ada, sebab jika tidak maka akan terjadi kartel.


"Kalau pemerintah tak hadir akan ada kartel. Penambang dan lingkungan akan semakin hancur," imbuhnya.

Terkait kartel, dia enggan berbicara lebih jauh, sebab pemerintah pasti sudah bisa mengambil jalan apa yang akan dilakukan terkait hal itu. Asosiasi juga merasa ketidakadilan dengan apa yang terjadi antara pengusaha lokal dengan asing.

"Kenapa investasi asing banyak fasilitas, ke kami apa? kami tak menuntut. kami hanya menuntut pemerintah menentukan harga layak. Kalau kami tak untung, bagaimana memperhatikan lingkungan. belum ada kesempatan kami pengusaha untuk eksplorasi. Boro-boro eksplorasi, untung aja nggak ada," jelasnya.

Asosiasi juga menyampaikan bahwa saat ini pengusaha nikel lokal tengah terpuruk akibat penerapan percepatan larangan ekspor nikel, dimana pihaknya harus menjual rugi hasil produksi ke smelter yang mayoritas dikuasai investor China. Selain APNI juga menjelaskan bahwa beberapa tambang sudah dikuasai oleh pengusaha China akibat semakin tertekannya harga nikel lokal.

Dia menambahkan, asosiasi telah melakukan upaya yaitu berdiskusi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dalam diskusi tersebut, ada kesepakatan di mana pelaku usaha nikel bersedia menyerap ore nikel berkadar rendah 1,7% dengan nilai jual yang disepakati sebesar USD 30 per ton hingga 31 Desember 2019.

Sayangnya, kesepakatan ini memang tak ada payung hukum yang jelas. Tak ada kepastian, bagaimana jika bijih nikel tersebut tidak terserap. Surat juga sudah dilayangkan kepada DPR. Mereka menjanjikan akan membahas hal ini dengan kementerian terkait.

Terakhir dia mengatakan, akan melakukan beberapa hal sebagai antisipasi. Pertama menggandeng daerah untuk bangun smelter secara konsorsium. Kemudian asosiasi juga akan melakukan manuver dengan menggandeng investor lain untuk membuat satu olahan batre.

"Itu sedang kami jajaki. Sampai akhir tahun kita lihat nanti. Hasil BKPM untuk implementasinya seperti apa kami juga belum tahu," tutupnya.

[Gambas:Video CNBC]

(gus/gus)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2XlUknk
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment