Meski begitu, apakah currency war benar-benar sudah berakhir? Jangan senang dulu, karena kemungkinan China menggunakan yuan sebagai 'senjata' masih terbuka lebar. Pasalnya, yuan memang bisa dipakai sebagai alat penekan. Sebagaimana kita ketahui, China sedang terlibat friksi dagang dengan AS. Kala Washington mengeluarkan gertakan, misalnya mengancam bakal mengenakan bea masuk, Beijing bisa membalas dengan melemahkan yuan. Ini yang terjadi pekan lalu. Presiden AS Donald Trump kala itu mengungkapkan AS akan memberlakukan bea masuk baru sebesar 10% bagi impor produk China senilai US$ 300 miliar. Entah sengaja atau tidak, hari itu juga yuan melemah dalam dan menembus level CNY 7/US$. Ketika yuan lemah, produk China menjadi lebih murah di pasar ekspor sehingga bisa leluasa berpenetrasi ke berbagai negara, termasuk AS.
Baca: Yuan Terlemah Sejak 2008, Perang Mata Uang Sudah Dimulai?
Perang dagang sudah bertransformasi menjadi perang mata uang. Ada aroma devaluasi kompetitif, upaya terstruktur, sistematis, dan masif untuk melemahkan mata uang. Mata uang yuan tidak sepenuhnya bergerak sesuai mekanisme pasar. Setiap harinya, Bank Sentral China (PBoC) menetapkan nilai tengah yuan. Artinya, yuan hanya boleh melemah dan menguat maksimal 2% dari titik tengah itu. AS pun tidak terima dan mengadukan kelakuan China ke Dana Moneter Internasional (IMF). Namun IMF tidak melihat China sengaja melemahkan yuan. Nilai tukar yuan dinilai masih sesuai dengan fundamental ekonomi China, tidak terlalu mahal (over-valued) atau terlalu murah (under-valued).(BERLANJUT KE HALAMAN 2) (aji/aji)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Z4I0Hp
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment