Selasa kemarin, usai melakukan rapat terbatas, Jokowi mengumpulkan jajaran Menteri Ekonomi dan pemangku kepentingan terkait di Istana Merdeka untuk membahas hal tersebut.
Pelemahan mata uang yuan memicu kecemasan akan terjadinya currency war atau perang mata uang jika negara lain juga melakukan hal yang sama. Ekonomi global yang semakin melambat hingga resesi menjadi ketakutan utama jika currency war sampai terjadi.
Indonesia tentunya juga akan terkena imbasnya. Namun seperti mata uang yang memiliki dua sisi, devaluasi yuan juga ada sisi positifnya.
Pada pekan lalu nilai tukar yuan terhadap rupiah anjlok hingga ke level terlemah dua tahun, dimana 1 yuan dibanderol Rp 2.007. Di awal tahun, kurs yuan berada di level Rp 2.088, sehingga total sepanjang tahun ini yuan melemah 2,7% melawan rupiah.
Ini berarti pemegang mata uang rupiah menjadi lebih "kaya" dibandingkan dengan awal tahun 2019 jika menggunakan nilai tukar terhadap yuan sebagai perbandingan.
Beberapa keuntungan menjadi lebih "kaya" tentunya bisa membeli barang "Made in China" lebih banyak, atau mengeluarkan rupiah yang lebih sedikit untuk mendapatkan barang tersebut.
Hitung-hitungan kasar, jika di awal tahun harga Smartphone asal Negeri Tiongkok Rp 2.088.000 kini menjadi Rp 2.007.000 atau menjadi lebih murah Rp 81.000.
Namun sekali lagi ingat dua sisi mata uang, produk China lebih murah akan menguntungkan tapi dampak lainnya adalah impor Indonesia akan semakin deras akibat tingginya permintaan dari dalam negeri.
Selain itu bagi yang memiliki hobi traveling ke luar negeri bisa mempertimbangkan untuk mengunjungi China selagi mata uangnya sedang melemah. Biaya akomodasi yang dikeluarkan selama di Negeri Tiongkok pastinya lebih murah dibandingkan dengan awal tahun ini, atau dibandingkan pertengahan tahun lalu ketika 1 yuan dibanderol Rp 2.220, tentunya jauh lebih murah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(Putu Agus Pransuamitra)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2NejUYz
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment