Monday, July 22, 2019

Catat! Filosofi JHT Itu Pohon Jati, Bukan Mangga

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak tahun 2015, pekerja mendapat keleluasaan mencairkan manfaat jaminan hari tua (JHT) tanpa harus menunggu memasuki masa pensiun. Meski menggiurkan, pencairan dini yang dilakukan oleh peserta membuat hasil pengembangan jaminan hari tua belum optimal dirasakan manfaatnya oleh pekerja.

Manusia cenderung memandang situasi dengan pola pikir kekinian. Jika ada peluang untuk memiliki dana cepat, mereka cenderung memanfaatkannya untuk kepentingan sesaat. Apalagi, godaan industri lifestyle makin besar di tengah makin kuatnya konsumerisme.

Inilah yang seringkali terjadi dalam pemanfaatan dana hari tua seperti JHT. Banyak yang memilih mencairkan JHT lebih dini, tanpa menunggu usia, demi memenuhi kebutuhan dan (atau) keinginan mendesak seperti biaya nikah, membeli motor, mobil, atau rumah.

Mereka menafikan kenyataan di mana nilai kebutuhan kita di masa mendatang ketika pensiun akan membesar karena adanya faktor kenaikan harga-harga barang (inflasi) rata-rata 4,31% per tahun. Karenanya, nilai uang yang kita tabung semakin mengecil dan membuat posisi JHT menjadi sangat penting sebagai "bantuan oksigen" ketika menghadapi masa pensiun.

Peserta yang mengikuti program JHT bisa melakukan pencairan dini sejak Presiden Joko Widodo pada 12 Agustus 2015 meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2015 yang merevisi PP Nomor 46/2015 tentang Program JHT. Peraturan baru ini menegaskan bahwa manfaat JHT, seperti dimaksud di Pasal 26 ayat (1) huruf A, bisa diberikan kepada peserta tanpa harus menunggu usia pensiun.

Sebelumnya, manfaat JHT memang hanya bisa dicairkan jika sudah memasuki usia pensiun. Sementara itu, peserta yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun 56 tahun, dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun.

Dengan mengalihfungsikan JHT dari "dana masa tua" menjadi "dana masa muda", maka kita memantik bom waktu bagi diri sendiri. Bisakah kita kelak hidup tanpa sokongan dana hari tua? Siapkah menjadi beban bagi kerabat untuk mengurusi keperluan hari tua kita?

Jika jawabannya tidak, maka kita harus meletakkan persepsi kita terhadap JHT secara tepat. JHT bukanlah tabungan yang bisa diambil kapanpun untuk keperluan apapun. JHT pada dasarnya adalah investasi jangka panjang dengan tingkat imbal hasil paling sedikit sebesar rata-rata bunga deposito counter rate bank pemerintah untuk jangka waktu 1 tahun (PP 46/2015).

Ibarat pohon jati, semakin lama kita membiarkannya tumbuh, semakin besar pula manfaat yang kita raup. Jika kita memanen jati yang baru "seumur jagung" selayaknya memanen buah mangga, maka yang kita dapatkan adalah hasil yang tak seberapa, jauh lebih kecil dari potensi yang bisa kita raih sebenarnya kelak.

Dalam jangka panjang, nilai investasi pohon jati akan semakin membesar, dan kita bisa lebih merasakan manfaatnya ketika kita tak lagi produktif. Dari JHT itukah kelak kita bisa mandiri tanpa menjadi beban tambahan bagi anak-cucu-yang pastinya juga lagi berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Lebih Cuan Jika Disimpan Hingga Pensiun Tiba
Harus diakui, kesadaran masyarakat akan pentingnya berinvestasi dengan horizon jangka panjang memang masih rendah. Banyak yang ingin untung cepat di masa kini, tetapi ogah berinvestasi demi masa depan.

Hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan tahun 2016 menunjukkan bahwa 67,8% masyarakat telah memakai layanan keuangan, tapi hanya 29,7% yang terliterasi dengan bagus. Khusus untuk dana pensiun, literasi masyarakat hanya berada di level 10,91%.

Jika memakai horizon investasi jangka panjang, kita bisa melihat bahwa JHT yang diendapkan justru membagi keuntungan lebih besar bagi pesertanya di masa mendatang. Untuk membantu anda memahaminya secara sederhana, berikut ini simulasi Tim Riset CNBC Indonesia.

Sebagai contoh, seorang karyawan bernama Dahlia, berusia 25 tahun, diterima bekerja dengan gaji Rp 5 juta per bulan. Sesuai Undang-Undang BPJS Ketenagakerjaan, perusahaan akan membayar 3,7% dari gajinya sebagai iuran JHT. Nilainya setara dengan Rp 185.000.

Di sisi lain, gaji Dahlia dipotong 2% (setara Rp 100.000) untuk membayar sisa iurannya. Total, iuran JHT Dahlia adalah sebesar Rp 285.000 per bulan. Berikut ini detil informasinya:
Jika Dahlia bekerja di perusahaan itu hingga masa pensiun maka sesuai ketentuan, dia bisa mencairkan manfaat JHT di usia pensiun (56 tahun). Dengan asumsi gajinya flat, manfaat JHT yang bisa dicairkan adalah Rp 213,7 juta. Ini dengan asumsi real return-nya sebesar 4,11%. Real return adalah tingkat keuntungan investasi dengan memfaktorkan inflasi sebagai pengurang.

Namun, jika dia berhenti bekerja, maka ada dua pilihan yang bisa diambil: mencairkan JHT-nya saat itu juga, atau mengendapkannya hingga memasuki usia pensiun. Untuk memudahkan penghitungan, kami mengasumsikan ada lima skenario masa kerja ketika dia berhenti yakni 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, dan 25 tahun.

Catat! Filosofi JHT Itu Pohon Jati, Bukan ManggaFoto: Simulasi
Dari situ, terlihat bahwa jika dana JHT langsung dicairkan maka Dahlia mendapat dana segar Rp 18,95 juta, jika dia berhenti kerja di usia 30 tahun (5 tahun bekerja). Nilai terbesar yang bisa diraih di genggaman tangannya adalah Rp 148,88 juta jika dia berhenti kerja di usia 50 tahun.

Mari bandingkan jika misalnya Dahlia-dengan 5 skenario sama mengenai lama kerja-memilih mengendapkan dana JHT hingga memasuki usia pensiun. Untuk memudahkan perbandingan, kita asumsikan bahwa dia tak lagi bekerja setelah itu, sehingga tak ada lagi iuran JHT tiap bulan.

Catat! Filosofi JHT Itu Pohon Jati, Bukan ManggaFoto: Simulasi
Berdasarkan skenario kedua, Dahlia mendapatkan manfaat JHT Rp 55,1 juta ketika manfaat JHT dicairkan di usia pensiun. Nilainya makin tinggi jika lama bekerjanya semakin lama. Dengan skenario dia berhenti bekerja di usia 50 tahun (atau 6 tahun sebelum pensiun), dia akan mendapatkan santunan JHT Rp 190,44 juta ketika masa pensiun tiba.

Yang patut dicatat, meski tak lagi mengiur setiap bulannya, investasi di JHT terus bertumbuh. Selisih nilainya (untuk skenario 1: usia berhenti kerja pada 30 tahun) mencapai Rp 36,11 juta dibandingkan dengan JHT yang langsung dicairkan (di usia yang sama) yang hanya Rp 18,9 juta.

Nilai yang didapatkan jika dana JHT diendapkan tersebut di atas kertas adalah dua kali lebih besar dari nilai JHT yang langsung dicairkan seperti di opsi 1. Jika dirata-rata, aset JHT yang diendapkan itu bertambah Rp 120.382 tiap bulan, selama 26 tahun, meski tak ada iuran baru.

Sekali lagi, ini dengan asumsi Dahlia tak lagi bekerja sampai dengan dia pensiun (yang mana nyaris tidak mungkin terjadi di dunia kerja). Bisa dibayangkan jika Dahlia bekerja lagi. Iuran bulanan akan kembali mengucur dan menaikkan perolehan dananya di usia pensiun.

USIA HASIL (LANGSUNG DICAIRKAN) HASIL (DIENDAPKAN HINGGA PENSIUN)
30  Rp                  18.947.951  Rp                   55.062.561
35  Rp                  42.210.500  Rp                   99.912.450
40  Rp                  70.770.112  Rp                 136.443.853
45  Rp                105.832.973  Rp                 166.199.632
50  Rp                148.879.921  Rp                 190.436.488
56 Rp 213.663.204 (MEMASUKI MASA PENSIUN)

Dari ilustrasi di atas, terlihat bahwa JHT yang diendapkan membagikan manfaat jauh lebih besar dari JHT yang langsung dicairkan. Karenanya, kita benar-benar memperlakukan JHT sebagai instrumen investasi jangka panjang, dan bukannya tabungan, yang bisa diambil sewaktu-waktu.

Ingat, JHT itu ibarat pohon jati. Bersabarlah. Biarkan dia tumbuh, demi masa depan kita.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(dob/dob)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2y4bI42
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment