Mengacu data Bank Indonesia, penyaluran kredit perbankan pada Mei 2019 mencapai Rp 5.451,8 triliun dengan total simpanan atau dana pihak ketiga (DPK) Rp 5.483,7 triliun. Dilihat dari pertumbuhannya, penyaluran kredit bisa tumbuh mencapai 11%, sedangkan DPK hanya bertumbuh 6,7%.
Lana Soelistianingsih, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menuturkan, simpanan tidak bisa beranjak pertumbuhannya lantaran dari sisi pendapatan masyarakat yang tidak terlalu tinggi, akibatnya tabungan yang disimpan di bank tidak terlalu besar.
Di saat yang bersamaan pula, pertumbuhan ekonomi melambat dari 6,03% yoy pada 2012 menjadi 5,07% yoy pada kuartal I-2019.
Foto: Lana Soelistyaningsih/Ekonom Samuel Aset Manajemen/Doc.FEB UI
|
"Kalau simpanan tidak naik bank sulit menyalurkan kredit, karena itu tabungan harus meningkat," kata Lana, kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/7/2019).
Lana yang juga ekonom PT Samuel Aset Manajemen ini pun enyoroti, di tengah semangat pemerintah memacu investasi di dalam negeri sebagai motor penggerak ekonomi, ada kendala yang dihadapi perbankan, yaitu mahalnya biaya pembiayaan (cost of fund) di Indonesia.
Meskipun Bank Indonesia sudah melonggarkan kebijakan suku bunga, dalam praktiknya, kata Lana, persaingan bank mendapatkan simpanan sangat kompetitif, sehingga menawarkan spread atau selisih yang tinggi dari suku bunga acuan, terutama untuk simpanan dengan nominal yang besar.
Sektor Non Tradisional
Dengan fenomena tersebut, menurutnya sudah saatnya perbankan mulai melirik sektor-sektor baru yang cukup potensial. Misalnya, bank bisa menyalurkan kredit di luar bisnis yang sudah mature, seperti kredit untuk para sineas dalam industri perfilman maupun pelaku industri kreatif lainnya yang selama ini masih sulit.
"Bank harus membuka diri untuk sektor baru yang muncul, bila tidak peer to peer lending akan mengambil pangsa pasarnya," kata Lana menambahkan.
Foto: Enny Sri Hartati, Ekonom INDEF/doc.Indef
|
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati berpendapat, di tengah ketatnya likuiditas, bank bisa concern menyalurkan kredit ke sektor yang sudah ajeg seperti sektor riil.
"Kalau dalam jangka pendek fokus ke sektor yang pasti dulu, misalnya sektor yang peluangnya besar seperti industri pakaian jadi, tekstil, kulit, kayu, kertas," kata Enny, saat ditemui di Menara Astra, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Enny juga mencermati lending rate yang mencapai dua digit saat ini dinilai masih cukup tinggi dan menjadi persoalan. Oleh karena itu efisiensi harus terus diupayakan perbankan.
"UMKM sekarang terkendala skema kredit yang cocok untuk mereka, dengan lending rate double digit, mereka tidak bisa mengaksesnya," pungkas Enny.
LDR 96%, OJK sebut likuiditas perbankan masih aman.
(tas)from CNBC Indonesia https://ift.tt/2MiUGYj
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment