Saturday, July 27, 2019

Komisaris Mundur, Bagaimana Drama Krakatau Steel Setelah Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Roy Maningkas memutuskan mundur dari jabatannya. Alasan mundurnya Roy dari KRAS dipicu perbedaan pendapat terkait proyek yang hot metal (blast furnace) perusahaan.

Roy berpendapat proyek tersebut terlalu dipaksakan selesai dalam dua bulan agar dapat diterima Krakatau Steel. Pasalnya, ada banyak item yang harus diuji, termasuk keandalan dan keamanan. Dalam kontrak pun minimal pengujian dilakukan enam bulan proses pengujian.

Terkait perkembangan kondisi perusahaan, Roy sempat bersurat kepada Kementerian BUMN yang menugaskannya di KRAS. Namun, surat itu direspons melalui pesan WhatsApp. Roy menilai Kementerian BUMN tidak nyaman dengan pernyataannya.

"Kementerian BUMN seolah-olah tidak happy, padahal saya ditugaskan Kementerian BUMN untuk mengawasi perusahaan. Loh ini ada yang enggak beres, tapi malah apa yang saya sampaikan mereka (BUMN) tidak nyaman," kata Roy beberapa waktu lalu.

Komisaris Mundur, Bagaimana Drama Krakatau Steel Setelah Ini?Foto: Invisible Hand Perparah Kondisi Krakatau Steel (CNBC Indonesia TV)

"Surat saya juga dijawab pakai WhatsApp, saya rasa enggak etis seperti itu," kata Roy yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang juga Anggota Barisan Relawan Jokowi Presiden ini.

Adapun persiapan operasi Project Blast Furnace KRAS dimulai sejak 2011. Saat ini sedang mulai beroperasi, dan Krakatau Steel sudah mengeluarkan kocek sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun dari rencana semula Rp 7 triliun.

Roy menekankan saat ini persoalan perusahaan berada di tangan Direktur Utama perusahaan Silmy Karim. Semuanya tergantung bagaimana memperbaiki ke depan dan tidak menambah masalah baru.

"Jadi KS ini jadi seperti bonsai, ada kepentingan yang bermain."

Silmy Karim kemudian turut angkat bicara. Ia mengatakan sejak memimpin KRAS dari September 2018 memang sudah banyak persoalan di tubuh Krakatau Steel. Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.

"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow Closing Bell di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).

Dia menegaskan, dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS/studi kelayakan) atau tidak.

Menurutnya, lebih baik membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga. Dengan begitu bisa ditarik kesimpulan apakah proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.

"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.

"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai tiga bulan operasi atau satu tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih sistem lama," lanjut Silmy.

Komisaris Mundur, Bagaimana Drama Krakatau Steel Setelah Ini?Foto: Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Silmy Karim (CNBC Indonesia/Anastasia Arvirianty)

Ridwan Djamaluddin, salah satu komisaris KRAS lainnya juga memiliki pandangan soal proyek blast furnace ini. Ridwan yang juga menjabat sebagai Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Bidang Kemaritiman menyebutkan, setelah proyek diujicobakan kalau ternyata malah merugikan, maka akan dilakukan kajian lagi untuk tindak lanjut berikutnya.

"Itu yang nanti akan ada kajiannya, tindak lanjutnya seperti apa. Itu yang justru jadi perhatian komisaris sebagai antisipasi setelah uji coba. Nanti ada beberapa opsi yang disiapkan untuk eliminir (kalau benar merugikan dan disetop). Ada kajiannya, lagi disiapkan," tutur Ridwan.

Mengenai kegaduhan pengunduran diri Roy Maningkas, Ridwan Djamaluddin mengatakan saat ini sudah mulai ditangani secara internal. Salah seorang pengurus perseroan menyampaikan sudah ada upaya internal menyelesaikan persoalan ini.

"Sudah didamaikan. Biasa itu pendapat-pendapat saling memperkayalah," kata Ridwan, Jumat (27/7/2019).

Menurut Ridwan, perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang berujung pada pengunduran diri Roy Maningkas sebagai Komisaris Independen KRAS tersebut merupakan hal yang biasa terjadi dalam fungsi pengawasan terhadap kinerja perusahaan.

"Bagus saja, itu kan fungsi pengawasan komisaris. Dalam hal dissenting opinion bagus, artinya berikan pandangan kritis untuk jalan. Sudah didamaikan," ucap.

Soal proyek blast furnace, tutur Ridwan, yang dipermalasahkan Roy, tetap harus diselesaikan, namun memang harus lebih berhati-hati agar jangan sampai depannya jadi lebih buruk.

"Hanya jangan sampai kondisi penyelesaiannya itu membuat lebih buruk. Jadi harus hati-hati dalam penyelesaiannya," ujar Ridwan.

Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai US$ 2,49 miliar atau sekitar Rp 35 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar US$ 2,26 miliar.

Utang jangka pendek yang harus dibayarkan oleh perusahaan mencapai US$ 1,59 miliar, naik 17,38% dibandingkan 2017 snilai US$ 1,36 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan utang jangka panjang sebesar US$ 899,43 juta.

[Gambas:Video CNBC]

(dru)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Mi4XUE
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment