Wednesday, August 7, 2019

Investor Semakin Cemas Currency War, Wall Street Amblas Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street amblas lagi pada perdagangan Rabu (7/8/19) akibat kecemasan akan curreny war atau perang dagang semakin menguat. Hal tersebut tercermin dari menguatnya aset-aset aman seperti emas dan obligasi.

Harga emas spot hari ini menembus US$ 1.500/troy ounce, sementara imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun turun ke level 1,63% terendah sejak 2016. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harganya, jika harga menguat yield akan bergerak turun. Kenaikan harga obligasi berarti permintaannya sedang tinggi.

Di awal perdagangan, indeks Dow Jones amblas lebih dari 400 poin atau 1,6% ke level 25.612,01, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing anjlok 1,3% dan 1,2%.

Kecemasan pelaku pasar akan pelambatan ekonomi muncul eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, plus potensi perang mata uang. Kombinasi dua hal tersebut bahkan dikatakan dapat memicu resesi seperti Great Depression yang melanda AS di tahun 1930an.

Adalah profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, yang mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930.


"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.

Pemerintah AS sudah coba meredam kecemasan pelaku pasar. Mengutip Reuters, AS dikabarkan siap untuk kembali bernegosiasi dengan China di Washington awal bulan depan.

"Beliau (Presiden AS Donald Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango," kata Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih.

Bahkan Kudlow mengungkapkan AS siap untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog dagang dengan China membuahkan hasil yang memuaskan. "Situasi bisa berubah mengenai kebijakan bea masuk. Bapak Presiden terbuka terhadap perubahan, jika pembicaraan dengan China positif," paparnya.

Namun, sepertinya AS masih "menari tango" sendiri, China belum merespon niat baik tersebut. Malah Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) kembali menentapkan nilai tengah yuan lebih lemah dari sebelumnya.

PBoC hari ini menetapkan kurs yuan di level 6,9996/US$ sedikit di bawah level 7/US$, tetapi sekali lagi mekanisme pasar membuat kurs yuan kembali ke atas 7/US$.

Sebagai informasi PBoC setiap hari menetapkan nilai tengah yuan, dan membiarkannya bergerak menguat atau melemah maksimal 2% dari nilai tengah.
Pada awal pekan lalu, PBoC mengejutkan pasar dengan mendepresiasi kurs yuan secara signifikan, hingga ke level terlemah 11 tahun. Hal tersebut membuat para investor cemas akan terjadinya perang mata uang.

Hingga hari ini PBoC terus melemahkan nilai tukar yuan di kurs tengah, dan besok bisa jadi penentuan apakah kurs yuan akan ditetapkan di atas 7/US$ atau tidak. Jika ditetapkan di atas level tersebut, kecemasan akan perang mata uang akan semakin meningkat dan bursa saham akan terus berguguran.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/33eH1rv
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment