Kejadian ini benar adanya sebagaimana diungkapkan Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing. Ia mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini menerima pengaduan seseorang yang mempunyai utang di 141 fintech lending.
Sang nasabah mengajukan pinjaman pada fintech legal dan fintech ilegal. Untuk diketahui, hingga 31 Mei 2019, baru ada 113 penyelenggara fintech yang terdaftar dan berizin dari OJK.
Akibatnya, nasabah tersebut harus berhadapan dengan debt collector fintech hingga kemudian terjadi pelecehan.
Foto: Infografis/Tips Agar Tak Diteror Debt Collector Fintech/Arie Pratama
|
"Ini sangat berbahaya tentunya. Artinya, kemampuan bayarnya tidak ada. Jadi dia sudah dengan sengaja tentunya meminjam pada pinjaman baru untuk menutupi pinjaman lama," ujar Tongam L Tobing dalam wawancara CNBC Indonesia TV, dikutip Rabu (7/8/2019).
Agar kejadian serupa tidak terulang, Tongam mengatakan bahwa OJK menyarankan masyarakat untuk meminjam pada fintech terdaftar yang sesuai kebutuhan dan kemampuan bayar.
Masyarakat, imbaunya, sebisa mungkin menghindari peminjaman di luar kemampuan bayar yang akan membuatnya berujung pada gagal bayar (default).
"Jangan gali lubang tutup lubang. Semakin dalam lubang yang digali, ini menjadi masalah bagi masyarakat tersebut," jelas Tongam.
Di satu sisi, OJK menemukan ada debitur yang memang sangat membutuhkan dana atau yang meminjam untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, Tongam mengatakan bahwa OJK tidak menutup mata terhadap adanya para debitur-debitur 'nakal'.
"Tetapi ada juga yang memang seperti ini tadi, 141 fintech ilegal dan legal yang dia pinjam. Jadi mengindikasikan bahwa memang dia sudah tidak punya kemampuan untuk bayar tapi tetap dia menggali lubang," ucapnya.
Untuk melindungi nasabah, keberadaan fintech legal dan ilegal menjadi acuan utama yang perlu dipertimbangkan. Sebagai contoh dalam hal tata cara peminjaman.
Tongam menjelaskan bahwa fintech legal menerapkan batasan besaran bunga yaitu maksimum 0,8% per hari. Denda juga dibatasi 100% dari utang pokok dan jangka waktu penagihan dilakukan 90 hari sejak jatuh tempo.
"Di ilegal hal itu sama sekali tidak ada. Bunga bisa 7% per hari, fee bisa 40% yang meminjam Rp 1.000.000 tetapi ditransfer Rp 600.000. Denda dan jangka waktu penagihannya juga tidak terbatas," jelas Tongam.
Untuk kasus debitur yang meminjam uang pada 141 fintech hal ini bisa saja dilakukan. Sebab fintech lending belum memiliki pusat data mengenai rekam jejak keuangan debitur. Sistem seperti ini hanya dimiliki oleh perbankan yang dulunya bernama BI checking atau sekarang bersalin nama Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
Debitur nakal ini bisa mengajukan pinjaman pada banyak fintech lantaran antar fintech satu dengan yang lainnya tidak bisa mengecek rekam jejak keuangan selain dari penelusuran di media sosial dan internet dan mengandalkan credit scoring.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang menaungi fintech P2P lending terdaftar dan berizin dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana meluncurkan sistem seperti BI Checking yang diberi mana Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) pada Agustus ini.
Simak video tentang fintech di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/33qS6pn
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment