Jakarta, CNBC Indonesia - Joko Widodo (Jokowi) resmi mengemban periode keduanya sebagai presiden pasca dilantik pada hari ini, Minggu (20/10/2019). Ditemani wakilnya yang baru yakni Ma'ruf Amin, Jokowi akan kembali menjadi nahkoda Indonesia selama lima tahun ke depan.
Di sepanjang periode satu, Tim Riset CNBC Indonesia mencatat ada dua kekurangan utama dari mantan walikota Solo tersebut yang harus diperbaiki dalam periode dua. Berikut dua kekurangan utama yang dimaksud.
Pertama, dalam pandangan Tim Riset CNBC Indonesia, Jokowi kurang bisa mengeksekusi rencananya.
Dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014 melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi di level 7%. Nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.
Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.
Teranyar, pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.
Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.
Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan meyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Lesunya laju perekonomian tanah air tak lepas dari sosok Jokowi yang kurang bisa mengeksekusi rencananya. Dalam masa kampanye, Jokowi kerap menjanjikan akan mempermudah prosedur perizinan di Indonesia yang terkenal menyulitkan, yang pada akhirnya seringkali menyruutkan minat investor untuk membangun pabrik di tanah air. Pasca terpilih, kebijakan pemangkasan prosedur perizinan dituangkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid II.
Namun nyatanya, mendapatkan izin untuk berinvestasi di tanah air masih sulit. Pada Juli 2019, CNBC Indonesia mencoba mendatangi pusat pelayanan Online Singe Submission (OSS) BKPM sekitar pukul 11.00 WIB untuk mendapatkan informasi terkait syarat mendirikan perusahaan.
Sayangnya, saat tiba di tempat ternyata antrean untuk melakukan konsultasi sudah habis. Petugas help desk di OSS BKPM mengatakan setiap harinya hanya diberikan kuota 200 nomor antrean untuk mengurus perizinan di OSS.
"Kalau mau memang harus datang pagi Mas, sekitar jam 05.00 untuk isi absen. Nanti jam 07.30 baru ambil nomor antrean. Jam 08.00 mulai pelayanan," kata petugas tersebut.
Beberapa orang yang mau melakukan konsultasi di OSS BKPM tampak kebingungan dan belum mengetahui tentang adanya aturan pembatasan nomor antrean per hari.
Salah satu pegawai perusahaan swasta, Ahmad, mengaku datang dari Bogor dan ditugaskan perusahaannya untuk mengurus perizinan melalui OSS. Dia mengaku tidak tahu soal antrean yang dibatasi hanya 200 orang per harinya.
"Jadinya saya mesti balik lagi nih Mas," keluhnya.
Seiring dengan masih menyulitkannya proses perizinan di Indonesia Indonesia, investor asing menjadi kian enggan untuk menanamkan modalnya di negara ini.
Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per September 2019 pemodal asing tercatat memiliki 50,6% dari saham yang tercatat di KSEI.
Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 17 Oktober 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.036,54 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 38,77%.
Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Untuk diketahui, jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.
Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.
Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.
Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.
Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.
BACA:
Realisasi Penanaman Modal Asing yang Memang Tumbuh, Tapi.....
Jadi, walaupun punya planning yang oke, Jokowi bisa dibilang kurang bisa mengeksekusinya dengan baik. Memang, bisa dikatakan bahwa masalah eksekusi itu urusan menteri. Tapi, kalau berlarut-larut tak juga beres, masa mau terus menerus menyalahkan menteri? Pastilah sang nakhkoda alias presiden yang salah pada akhirnya.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Kurang Matang
(ank/ank)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/31xtQzM
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment