Thursday, October 10, 2019

Zaman Belanda Hingga Jokowi: RI Susah Lepas dari Komoditas

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia harus keluar dari ketergantungan terhadap ekspor komoditas dan fokus pada industri manufaktur yang memberikan nilai tambah. Sejak zaman penjajahan Belanda perekonomian Indonesia sangat bertumpu pada komoditas.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro mengatakan setelah masa penjajahan, pemerintah  melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda, yang sekarang menjadi BUMN. Kebanyakan dari perusahaan yang dinasionalisasi bergerak di sektor pertanian dan perkebunan, seperti kopi, teh, dan tebu.

"Pulau Jawa pernah jadi penghasil gula terbesar di dunia bersama Kuba. Jawa sangat subur, setelah VOC, dari Maluku, mereka beralih ke Jawa karena banyak yang bisa dikembangkan kayak tebu, teh, kopi. Itu komoditas luar biasa, karena itu nasionalisasi perkebunan jadi penting," kata Bambang, Kamis (10/10/2019).

Setelah masa komoditas pertanian dan perkebunan, pada era Orde Baru menurut Bambang Indonesia mengalami "oil booming". Dimana peran ekspor minyak menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Pertamina menjadi sangat perkasa.

"Apa yang tidak bisa dibangun pemerintah, dibangun oleh pemerintah. Rumah sakit modern pertama itu dibangun oleh Pertamina," kata Bambang.

Sayangnya hal inilah yang membuat Indonesia terbuai dan terlalu mengandalkan komoditas, bukan manufaktur. Padahal saat itu pemerintah juga membangun industri dasar seperti baja, semen, pupuk, dan kertas.

"Dulu Pertamina statusnya bukan PT tetapi PN dan tidak perlu dicek rugi laba. Itu juga memicu kebangkrutan Pertamina tahun 1975," katanya.

Setelah masa kejayaan minyak pudar, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia juga dimanjakan oleh komoditas booming dari batu bara, kelapa sawit, dan barang tambang.

"Pada masa itu Indonesia selain dari berkah komoditi. Kita surplus di neraca perdagangan. Ada kombinasi global yang bagus buat kita. Di sisi lain. Ada masalah, karena yang awalnya sangat baik jadi beban di kemudian hari," ujar Bambang.

Dia menegaskan permasalahan muncul ketika harga komoditas fluktuatif. Selain banyak perusahaan berbasis komoditas yang gulung tikar, penerimaan negara pun turun drastis.

Pada masa pemerintah Presiden Joko Widodo komoditas tidak lagi secerah sebelumnya. Bahkan Indonesia tidak menjadi tujuan relokasi dari China. Padahal Indonesia  pernah menjadi tempat relokasi industri Jepang tahun 1990-an.

Bambang juga mengungkapkan hal ini terjadi karena Indonesia kurang konsisten dan tidak fokus pada manufaktur. Berbeda dengan Malaysia, yang tidak hanya fokus pada komoditi tetapi juga manufaktur.

"Ketika ada relokasi dari China, pasti fokus pada negara yang punya struktur manufaktur kuat dan memberikan kemudahan," katanya. 

Imbasnya dari data ekonomi sejak 2013 sampai kini stagnasi ekonomi masih terjadi, ekonomi Indonesia sempat menyentuh 4,7% lalu naik jadi 5% lebih hingga kini. Hal ini terjadi sejalan melorotnya harga komoditas seperti batu bara, minyak sawit dan lainnya. Kutukan komoditas belum lepas dari Indonesia, belum bisa beralih ke ekonomi baru. (hoi/hoi)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2OHxDb3
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment