Sunday, October 6, 2019

Tren Suku Bunga Acuan Turun, Apa Untungnya Buat Reksa Dana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan tiga kali berturut-turut sebanyak 75 bps. Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 5,25%. Hal yang dilakukan oleh BI juga jadi tren bank sentra di banyak negara. Bagaimana dampaknya ke investasi reksa dana, jenis reksa dana apa?

Presiden Direktur Samuel Aset Manajemen Agus Basuki Yanuar mengatakan reksa dana terproteksi yang juga beraset dasar obligasi akan mendapat keuntungan dari penurunan suku bunga acuan. Karenanya, dia menilai sektor ini menjadi potensi bagi para investor.


"Reksa dana berbasis fix income, baik pasar uang maupun obligasi. Karena indeksnya sendiri yang berhubungan dengan saham, baik campuran maupun reksa dana saham. Karena indeksnya turun, jadi secara rata-rata sebenarnya di bawah raihan dari kerja reksa dana berbasis obligasi maupun pasar uang," jelasnya.

Sejauh ini, pasar reksa dana dinilai masih bisa sesuai ekspektasi. Dengan reksa dana fix income sebagai salah satu yang diminati. Meskipun terkadang ada kendala kesulitan.

"Kadang-kadang selalu ada kesulitannya di efek yang sesuai berkualitas dan sesuai. Seperti tidak seluruh IPO saham juga kan bisa diinvestasikan karena valuasi dan besarannya. Tapi yang sifatnya fix income selalu ada sun termasuk yang diminati investor," kata Agus.

Agus menilai penurunan suku bunga acuan oleh BI masih bisa berlanjut jelang akhir tahun nanti. Hal ini karena tingkat inflasi Indonesia masih tergolong rendah. Apalagi, pemerintah ingin memastikan pertumbuhan ekonomi nasional tetap di atas 5% kendati ada ancaman resesi ekonomi global.

"Tahun depan harusnya lebih baik. Kabinet pun baru. Kalaupun ada pasar mencerna ada sampai akhir tahun untuk melihat kebijakan-kebijakannya apakah makin positif," katanya.

Meneropong Reksa Dana di 2020

Potensi Reksa Dana di tahun depan dinilai memiliki peluang yang lebih cerah. Agus Basuki Yanuar menilai Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi di angka 5% bisa dikatakan lebih baik dibanding negara-negara lain.

"Itu cukup baik diantara negara-negara lain. Di Eropa masih ada potensi perlambatan di Amerika juga datanya tidak seperti yang diperkirakan sebaik di awal tahun," katanya.

Apalagi, kondisi politik global juga diperkirakan bisa lebih stabil dibandingkan tahun ini. Namun, kita tetap harus waspada dalam melihat dinamika global yang terus berubah. Agus menilai peristiwa perang dagang yang terjadi antara Amerika dan India juga bukan hanya soal ekonomi, namun juga teknologi. Sehingga berdampak ke banyak faktor.

"Secara konsensus sih makro misalnya pendapat lembaga-lembaga dunia melihat bahwa 2020 lebih baik dari 2019, 2021 apalagi. Kalau tahun ini kan banyak hal yang tidak terukur. Perang dagang yang mulai muncul lagi. Brexit baru Oktober tanggal 10 ditentukan. Geopolitik di Timur Tengah misalnya dengan Iran. Pemboman minyak di Arab Saudi yang memengaruhi harga minyak dan energi," jelasnya.

(hoi/hoi)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/30Uooq5
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment