Thursday, October 24, 2019

Dear Mendag, Cara Ini Perlu Dicoba untuk Tekan Defisit Dagang

Jakarta, CNBC Indonesia - Agus Suparmanto resmi menjabat sebagai Menteri Perdagangan periode 2019-2024, menggantikan Enggartiasto Lukita. Pekerjaan rumah menunggunya terutama terkait dengan defisit neraca perdagangan yang kian berlarut-larut. Adakah solusi taktis untuk mengatasi persoalan itu? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengaku mendapat beberapa tugas prioritas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang intinya adalah menurunkan defisit neraca perdagangan dengan menekan impor dan menggenjot ekspor.


Kalau dilihat dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari 2014-2018, Indonesia mengalami dua kali defisit dagang. Pertama di tahun 2014 defisit neraca dagang mencapai US$ 2,2 miliar. Kedua, defisit parah pada 2018 yang mencapai US$ 8,7 miliar.

Sepanjang tahun ini, sejak Januari-September 2019, Indonesia kembali mencatat defisit neraca dagang sebesar US$ 1,95 miliar. Tanpa ada kajaiban di tiga bulan terakhir, besar kemungkinan Indonesia terjerembab kembali dalam defisit pada tahun ini.

Pak Agus, Ini Langkah-Langkah yang Bisa Tekan Defisit DagangSumber : Badan Pusat Statistik
Apabila ditinjau lebih jauh, defisit terjadi diakibatkan karena impor minyak terutama impor hasil minyak alias BBM. Defisit neraca perdagangan akibat pos ini mencapai US$ 8,59 miliar.

Jadi dengan kalkulasi sederhana, untuk menekan defisit neraca perdagangan ya dilakukan dengan cara menekan impor dan menggenjot ekspor. Namun yang jadi pertanyaan adalah impor apa yang perlu ditekan? Ekspor apa yang perlu digenjot? Serta bagaimana melakukannya?

Pertama, untuk dapat menekan impor pemerintah perlu melakukan kajian mendalam tentang impor barang dan jasa apa saja yang sudah dilakukan selama ini. Tentu impor yang ditekan bukan impor terhadap barang modal untuk industri manufaktur dalam negeri agar tidak berdampak buruk terhadap aktivitas perekonomian dalam negeri.

Menurut studi Observatory of Economic Complexity (OEC), impor terbesar Indonesia hingga 2017 adalah produk olahan minyak seperti bahan bakar minyak/BBM (US$ 14,2 miliar), minyak mentah (US$ 7,44 miliar), telepon (US$ 3,13 miliar), suku cadang kendaraan bermotor (US$ 3,01 miliar) hingga gas LPG (US$ 2,71 miliar).

Semua barang impor itu memainkan peranan penting dalam ekonomi Indonesia sehari-hari. Saring dan pilihlah barang-barang yang memiliki substitusinya dari dalam negeri. Jika tidak, maka tetapkan proyek penciptaan bahan pengganti dalam negeri dalam strategi pengembangan industri.

Misalnya, percepat program B30 yang bakal berjalan tahun depan guna mengurangi impor solar. Jangan hanya mandek di situ, buatlah program lanjutan yang bertahap dan terukur seperti B40, B50 hingga B100.

Program ini selain dapat mengurangi ketergantungan terhadap BBM impor juga dapat meningkatkan perdagangan dalam negeri mengingat program B30 menyerap minyak sawit mentah (CPO) produksi domestik yang digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan biodisel.

Atau, cara tersingkat adalah mengurangi konsumsi BBM agar impor produk olahan minyak terkendali. Hentikan program yang membuat masyarakat kian kecanduan BBM dan malas mengembangkan energi alternatif, seperti misalnya program BBM satu harga dan penyuplaian premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali).

Dalam hal ini perlu koordinasi antar lembaga serta peta jalan (road map) jelas terkait dengan kebijakan bauran energi dalam negeri. Dan, tentu saja nyali dan komitmen yang kuat dari Kepala Negara, sebagaimana pernyataan sebelumnya bahwa dia tidak punya beban untuk mengambil kebijakan tak populis.

[Gambas:Video CNBC]

BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>

(twg)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2NdK5N0
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment